Translate

Jumat, 20 Februari 2015

Usaha Tani Di Lahan Beririgasi

USAHATANI DI LAHAN BERIRIGASI
 DAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

Oleh:
Asep Suherman, Ir. MP.


I.     PENDAHULUAN
  Gemah ripah, loh jinawi, tata raharjo menggambarkan kemakmuran dan kesejahteraan negara-negara agraris. Kata-kata seperti itu nyaris tidak pernah terdengar dalam dunia nyata Indonesia.  Kehidupan pedesaan dan pertanian menjadi semakin tidak merangsang bagi anak-anak muda.  Hal ini ditunjukkan dengan tegas dari data-data lapangan bahwa sawah-sawah kita hanya layak bagi orang tua mereka. Petani, baik pemilik lahan maupun buruh tani, semakin bau tanah, dengan anak-anak muda mereka yang nyaris tidak pernah menyentuh lahan pertanian.  Bahkan anak-anak muda pun semakin tabu menyanyikan lagu populer Koes Plus yang menggambarkan agrarisnya Indonesia sebagai tanah surga dan kolam susu.
Telaah empirik menunjukkan dengan jelas bahwa usahatani di lahan beririgasi merupakan sub-sektor yang paling tidak beruntung (na-as). Hal ini merupakan konsekuensi negara dalam menata sistem ketahanan pangan nasional yang sangat bias beras.  Dalam pembenahan RPPK dewasa ini pun, masih terlalu banyak aib usahatani, yang mengindikasikan salah kiblat, antara lain : mudahnya impor beras, makin kacaunya distribusi pupuk, pengorbanan petani sebagi tumbal inflasi, naiknya harga pupuk tanpa kenaikkan harga gabah, dan kebijakan tata-niaga yang bias konsumen berlebihan. Usahatani di lahan beririgasi pada khususnya, dan usahatani tanaman pangan pada umumnya, selama ini hanya diposisikan sebagai tumbal pembangunan untuk : menghasilkan pangan murah, bemper inflasi, memurahkan UMR, penanggulangan kelaparan, dan penampungan pengangguran (Maksum, M. dan Bambang Adi Nugroho, 2006).
    
II.    PERMASALAHAN USAHATANI DI LAHAN BERIRIGASI
Dalam kajian intensif yang dilakukan PSPK-UGM (2004) bekerjasama dengan IWMI, beberapa permasalahan yang melatar belakangi dinamika usahatani di lahan beririgasi, bisa dikelompokkan dalam : (1) permasalahan teknis usahatani pada lahan beririgasi teknis;  (2) permasalahan sosio-teknis; (3) permasalahan sosial-kelembagaan; dan (4) kinerja struktural dan kebijakan (PSPK-UGM, 2004).
    Permasalahan teknis.  Secara teknis, usahatani beririgasi sekedar ditentukan oleh kinerja kultur teknis dan neraca air setempat.  Kesederhanaan relasi kultur teknis dan neraca air ini menjadi problematik ketika neraca air yang dari waktu ke waktu semakin diwarnai oleh kelangkaan air karena meningkatnya kebutuhan pada tingkat masyarakat dan keterbatasan ketersediaan air.  Sudah barang tentu relasi yang semakin tidak kondusif bagi usahatani lahan beririgasi ini menuntut perkembangan teknologi kultur teknis (agronomi) tertentu yang mengarah kepada water saving technology.
Ketergantungan usahatani terhadap relasi tersebut masih harus diperhatikan pula sebagai subsistem primer on-farm dari sistem agribisnis, kesederhanaan teknologi usahatani yang sudah sangat paripurna dewasa ini sangat tergantung dari kinerja sistem agribisnis secara keseluruhan yang berintikan sub sistem : (i) input produksi; (ii) usahatani primer; (iii) penanganan pasca panen (pengolahan hasil); (iv) pemasaran; dan (v) subsistem penunjang.
Pemasalahan sosio-teknis.  Tidak bisa dipungkiri bahwa kesederhanaan relasi kultur teknis dan irigasi pada tingkat lapangan sangat diwarnai oleh relasi sosio-teknis terutama berkaitan dengan kesiapan teknis masyarakat petani dalam beririgasi yang semakin dibatasi oleh kelangkaan air.  Kinerja teknis keirigasian di lapangan dalam hal ini akan sangat ditentukan oleh karakter sosiokultural setempat yang selama ini diwarnai oleh pola-kelola irigasi yang dipandang sebagai public-good, pola irigasi boros dan egoistis. Perhatian terhadap permasalahan ini menjadi lebih penting terutama dikaitkan dengan pentingnya upaya peningkatan pengetahuan teknis keirigasian pada tingkat masyarakat dalam model tata-kelola irigasi partisipatif.  Dalam era perubahan paradigma pembangunan dari model-model monolistik-sentralistik menjadi model pembangunan desentralistik-partisipatif, sudah tentu pengembangan keirigasian yang harus semakin partisipatif seyogyanya mengagendakan intervensi strategis dalam bidang sosio-teknis.
Permasalahan sosio-kelembagaan.  Mengingat kinerja teknis dan kinerja sosio-teknis akan melibatkan dan ditentukan tidak hanya oleh kinerja perorangan tetapi oleh relasi orang perorang dengan masyarakat sekitarnya, maka kinerja sosial kelembagaan kawasan menjadi penting sekali untuk dibenahi.  Model-model tata-kelola sosial kelembagaan, seperti P3A, kelompok tani, SLPHT, dsb; yang selama beberapa waktu dibangun dengan pendekatan monolitik-sentralistik sudah waktunya dikemas ulang dalam format otonomis-partisipatif sejalan dengan perubahan peradaban yang sedang berjalan.
Pemberdayaan sosio-kelembagaan ini sangat diperlukan tidak hanya terbatas pada tingkat tersier saja sebagaimana beberapa kurun waktu terjadi.  Semakin langkanya sumberdaya air menuntut tata-kelola sosio-kelembagaan yang lebih makro, melewati batas-batas tersier, sekunder dan bahkan batas-batas sistem primer.  Pengembangan partisipasi publik dalam konservasi sistem sumberdaya air secara absolut memerlukan perberdayaan sosial-kelembagaan yang paripurna.
Kinerja struktural-kebijakan.  Mutu kinerja struktural-kebijakan ini sungguh sangat penting bagi keberadaan usahatani di lahan beririgasi karena negara secara politis telah menempatkan beras sebagai komoditas paling strategis dan pembagunan irigasi sebagai penopang utamanya.  Ini adalah pilihan politik bangsa yang telah dibakukan.  Kendati pada tingkat legal kepentingan irigasi bagi perberasan ini lebih banyak disamarkan dalam ketahanan pangan, tafsir terbatas yang selama ini diadopsi oleh Pemerintah telah menempatkan kesamaan bahwa ketahanan pangan adalah beras. Kepentingan ekonomi itulah yang selama ini menempatkan industri perberasan nasional menjadi pusat polemik dalam bidang pertanian. Dalam format ekonomi-politik yang ditetapkan itulah produksi beras nasional menjadi maha penting, tetapi bukan produsen berasnya. Ketersediaan beras mutlak perlu diupayakan, tetapi bukan kemakmuran kaum tani. Ketahanan pangan nasional itu tujuan pembangunan pertanian, dan nyaris tanpa kepedulian memadai terhadap kesejateraan petani. dengan demikian, mudah sekali dijabarkan bahwa terapi-terapi struktural-kebijakan dalam usahatani padi lebih bernuansa marjinalisasi daripada revitalisasi sektor pertanian.

III.    PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI SEBAGAI SOLUSI USAHAHATANI DI LAHAN BERIRIGASI

3.1.Penerapan Konsep Agribisnis dan Agroindustri
Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis menurut Bungaran Saragih (2001), terdiri atas 5 (lima) sub-sistem agribisnis yaitu :
a. Sub-sistem Agribisnis Hulu (Up-stream agribusiness)
yakni industri-industri yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian (arti luas) yang meliputi :  industri pembenihan/pembibitan tumbuhan dan hewan, industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat/vaksin ternak) dan industri agro-otomotif (mesin dan peralatan pertanian) serta industri pendukungnya.
b.  Sub-sistem Usahatani (On-farm agribusiness)
yakni kegiatan yang menggunakan barang-barang modal dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas primer.  Termasuk dalam hal ini adalah usahatani pangan dan hortikultura, tanaman obat-obatan, perkebunan,  peternakan, perikanan, dan kehutanan. 
c.  Sub-sistem Pengolahan (Down-stream agribusiness)
yakni industri yang mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri) menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product) maupun produk akhir (finish product).  Termasuk didalamnya industri makanan, industri minuman, industri barang-barang serat alam (barang-barang karet, plywood, pulp, kertas, bahan-bahan bangunan terbuat dari kayu, rayon, benang dari kapas/sutera, barang-barang kulit, tali dan karung goni), industri biofarmaka, dan industri  agrowisata dan estetika.
d. Sub-sistem Pemasaran (Market system of agribusiness)
yakni kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas pertanian, baik segar maupun olahan di dalam dan di luar negeri.  Termasuk kegiatan distribusi untuk memperlancar arus komoditi dari sentra produksi, promosi, informasi pasar, serta intelijen pasar (market intelligence).
e.  Sub-sistem Jasa dan Penunjang
yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi sub-sistem agribisnis hulu,  usahatani primer dan agribisnis hilir.  Termasuk ke dalam sub-sistem ini adalah penelitian dan pengembangan, perkreditan dan asuransi, transportasi, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, sistem informasi dan dukungan kebijakan pemerintah (mikro ekonomi, tata ruang, dan makro ekonomi).
Kelima Sub-Sistem tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :










Sub-Sistem Agribisnis Hulu

Sub-Sistem Usahatani

Sub-Sistem Pengolahan

Sub- Sistem Pemasaran


-  Industri pembenihan/ pembibitan  tanaman/hewan
-  Industri agrokimia
-  Industri agrootomotif
-  Usahatani tan. pangan &hortikultura
-  Usahatani  perkebunan
-  Usahatani peternakan
-  Usahatani perikanan
-  Usahatani Kehutanan
-  Industri makanan
-  Industri minuman
-  Industri rokok
-  Industri barang serat alam
-  Industri biofarmaka
-  Industri agrowisata dan estetika
-  Distribusi
-  Promosi
-  Informasi Pasar
-   Intelijen Pasar
-  Kebijaksanaan perdagangan
-  Struktur pasar
























Sub-Sistem Jasa  dan Penunjang




-    Perkreditan dan asuransi
-    Penelitian dan pengembangan
-    Pendidikan dan Penyuluhan
-    Transportasi dan pergudangan
-    Kebijaksanaan pemerintah (mikro ekonomi, tata ruang, makro ekonomi)












Gambar 1.  Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis dan Agroindustri











Pohon industri setiap komoditas pertanian sangat dibutuhkan dalam pola pengembangan usaha ekonomi wilayah. Dengan memahami pohon industri setiap komoditas suatu daerah, kita akan mengetahui seberapa jauh pemanfaatan produksi komoditas tersebut dalam pengembangan usaha ekonomi di wilayah tersebut.  Dalam makalah ini hanya akan di gambarkan pohon industri dari 3 komoditas pertanian yang biasa dilakukan oleh petani, yaitu padi, jagung, kedelai, Kambing, domba dan kelinci  (Lampiran :  1, 2, 3, dan 4).
Masalah pemasaran sebenarnya tidak terlalu sulit.  Dengan berprinsip pada konsep ” kontinyutas, kuantitas dan kualitas”  suatu produk, maka masalah pemasaran dapat diatasi dengan prinsip kemitraaan . Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah, khususnya Kabupaten atau Kota dalam melaksanakan program-program pembangunan. Banyak aspek yang dapat dilakukan secara mandiri di tingkat daerah baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pertanggung-jawaban daerah dalam mempersiapkan dan melaksanakan berbagai kebijakan yang kini bergeser menjadi tanggung jawab daerah.  Kesiapan sumberdaya manusia di pemerintah daerah saja tidak cukup tanpa didukung oleh komponen lain, misalnya kesiapan masyarakat di daerah dan kondisi sumberdaya alam.
Daerah dalam konsep otonomi daerah mempunyai keunikan atau karakteristik tersendiri. Karakteristik tersebut antara lain masing masing wilayah administratif mempunyai potensi sumberdaya alam, etnis, budaya atau tradisi, sumberdaya manusia yang sangat beragam dan khas.  Dalam konsep otonomi daerah diharapkan berbagai potensi yang ada di daerah dapat dimanfaatkan secara optimal dalam mendukung pelaksanaan pembangunan. Kenyataan ini menuntut para perancang dan pengambil kebijakan dalam sistem otonomi daerah, bertindak secara arif dan dewasa agar dapat mengakomodasi berbagai keluhan dan harapan masyarakat pertanian, bagaimana menyusun langkah-langkah pembangunan dan pengembangan pertanian ke depan. Masyarakat pertanian yang secara aktif telah terlibat sejak awal dalam menentukan kebijakan pembangunan pertanian, diharapkan dapat terbangun rasa tanggung jawabnya dan rasa memiliki bagi masa depan sektor pertanian.
Berbagai kenyataan di atas membutuhkan penyelesaian secara spesifik dan tuntas. Dalam konteks lain pembangunan pertanian di era otonomi daerah menuntut pendekatan secara holistik. Berbagai kajian dalam perencanaan, penyusunan dan penyiapan kebijakan pembangunan pertanian menjadi tanggung jawab bersama antar berbagai elemen masyarakat, pemerintah dan perguruan tinggi. Oleh sebab itu setiap kegiatan harus dilakukan secara partisipatif, mulai dari perencanaan sampai dengan implementasinya.
Pemberdayaan petani memerlukan langkah yang jelas, perencanaan yang mantap, serta operasional di tingkat petani.  Perencanaan harus dipimpin oleh pemerintah setempat, dan sebaiknya di tingkat desa atau tingkat daerah aliran sungai (DAS) yang berdasarkan alur hidrologis.  Pemerintah yang melayani rakyat, mempersiapkan dan melindungi rakyatnya.  Namun harus diingat, perencanaan disini tidak asal perencanaan, melainkan bagian dari proses manajemen usaha.  Masyarakat petani membangun suatu unit usaha harus seperti konsep perusahaan.  Perusahaan memproduksi suatu produk jika ada pangsa pasarnya.  Perusahaan bisa eksis manakala perusahaan itu mampu menjual produknya dengan nilai jual yang layak. 
Prinsip-prinsip kebijakan yang diperlukan, pada dasarnya adalah:
1.      Keberpihakan kepada petani,
2.      Kebebasan berusahatani,
3.      Pertanian yang berkelanjutan,
4.      Otonomi Daerah,
5.      Berorientasi pasar global,
6.      Pendekatan agribisnis dan agroindustri, serta
7.      Mempunyai ketahanan pangan yang kuat,
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut maka strategi dan kebijakan pembangunan pertanian yang diperlukan antara lain :
1.      Kebijakan harga produksi dan input,
2.      Pertumbuhan sentra produksi dan perwilayahan komoditas,
3.      Pengembangan usaha,
4.      Pengurangan resiko usahatani,
5.      Pengembangan pasar dalam negeri (Ekonomi antar wilayah/pulau),
6.      Efisiensi pelayanan,
7.      Peningkatan infra struktur di pedesaan,
8.      Modernisasi industri pertanian dan pedesaan,
9.      Peningkatan sumberdaya manusia,
10.  Pengembangan inovasi dan teknologi untuk petani/usaha kecil,
11.  Pemberdayaan (Empowerment) petani,
12.  Transformasi masyarakat yang berkualitas secara partisipatif,
13.  Penataan / konsolidasi lahan pertanian,
14.  Keberlanjutan sumberdaya alam pertanian, dan
15.  Jaringan informasi pertanian (pemasaran), baik lokal, regional, nasional maupun internasional.
      Ketika nilai tukar produk bisa lebih terjamin, maka kegairahan untuk tetap berproduksi akan bisa terus dijaga.  Dalam situasi dimana pengangguran begitu tinggi, seperti yang kita alami sekarang ini, maka hal itu akan turut membantu terbukanya lapangan kerja, karena terbukanya lapangan usaha.
Permasalahannya adalah bagaimana mengimplementasikan prinsip-prinsip, kebijakan-kebijakan dan lembaga-lembaga yang telah ada di masyarakat itu dalam suatu program yang terpadu agar efektif dan efisien yang kemanfaatannya dapat dirasakan oleh kita semua terutama petani sebagai ujung tombak pembangunan.  Bagaimanapun juga, bangsa ini tidak akan bangkit dari keterpurukan ini, manakala petaninya yang mayoritas penduduk dari negara ini tidak dihargai keberadaannya, jerih payahnya, dan tidak ditempatkan pada porsi dan posisi yang benar. 
3.2.   Pola Kemitraan Usaha Pada Pembangunan Pertanian Terpadu, Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan Melalui Pendekatan Sistem Agribisnis dan Agroindustri
      Secara tertulis Negara Indonesia telah menganut konsep pembanguna pertanian berkelanjutan.  Hal ini termuat dalam amandemen UUD 1945, pasal 33 bahwa : ”perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.  Pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dan usaha agribinis, agroindustri serta kemitraan usaha. Sektor agribisnis yang berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai tipe dispersal atau tersekat-sekat, kurang memiliki daya saing, dan tidak berkelanjutan.  Menurut Simatupang (1995) dalam Saptana dan Ashari (2007), hal itu disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu :
1) Tidak ada keterkaitan fungsional yang harmonis diantara kegiatan atau pelaku agribisnis, sehingga dinamika pasar belum dapat direspon secara efektif karena tidak adanya koordinasi;
2)Terbentuknya margin ganda sehingga ongkos produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil yang harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal, atau secara agribisnis menjadi tidak efisien, dan
3) Tidak adanya kesetaraan posisi tawar antara petani dan pelaku agribisnis lainnya sehingga petani sulit mendapatkan harga pasar yang wajar. 
Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui pendekatan sistem agribisnis, agroindustri dan kemitraan usaha memberikan beberapa manfaat sekaligus, yaitu :
a). Mengoptimalkan alokasi sumberdaya pada satu titik waktu dan lintas generasi,
b).  Meningkatkan efisiensi dan produktivitas produk-produk pertanian karena adanya keterpaduan produk berdasarkan tarikan permintaan (demand driven),
c).  Meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem agribisnis dan harmonisasi keterkaitan antar subsistem melalui keterpaduan antar pelaku,
d).  Terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling membutuhkan, memper-kuat, dan menguntungkan,
e).  Adanya kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan kontunuitas pendapatan seluruh pelaku agribisnis.
Pendekatan tersebut di atas hanya akan berhasil bila dilakukan secara partisipatif. Pembangunan pertanian secara partisipatif akan menjamin keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Pembangunan partispatif dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan dengan pendekatan sistem agribisnis dan kemitraan usaha adalah proses yang melibatkan keseluruhan pelaku agribisnis dari hulu hingga hilir dalam pengambilan keputusan substansial yang berkaitan dengan eksistensi dan keberlanjutan usaha.
Pembangunan pertanian berkelanjutan memiliki tiga tujuan (Sanim, 2006) dalam Saptana dan Ashari (2007),  yaitu : tujuan ekonomi (efisiensi dan pertumbuhan), tujuan sosial ( kepemilikan/keadilan), dan tujuan ekologi (kelestarian dan lingkungan).  Ketiga tujuan tersebut saling terkait seperti disajikan pada Gambar 2.  Pembangunan pertanian berkelanjutan dapat terwujud bila ketiga tujuan pembangunan tersebut tercapai.                                                       


o  Distribusi pendapatan
o  Kesempatan kerja
o  Asistensi yang ditargetkan
·     Penilaian terhadap lingkungan
·     Penilaian
·     Internalisasi
 
§  Partisipasi Masyarakat
§  Konsultasi
§  Pluralistik
Sumber : Sanim, 2006.

 
Oval: Tujuan ekonomi : 
Efisiensi dan Pertumbuhan
 



 






        Gambar 2.  Hubungan antara tiga tujuan pembangunan berkelanjutan.

Efisiensi dan pertumbuhan sektor pertanian dapat dipacu  melalui pertumbuhan produksi dan pendapatan petani, pembentukan modal dan peningkatan daya saing.  Pemerataan kepemilikan sumberdaya dapat ditempuh melalui kebijakan reformasi agraria (landreform)  serta  meningkatkan  akses  dan  kontrol  masyarakat   ke sumberdaya pertanian, modal, teknologi, kesejahteraan sosial, dan ketenteraman.  Kelestarian sumberdaya pertanian dan lingkungan dapat diwujudkan dengan mengembangkan sistem usahatani ramah lingkungan, memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan, mengurangi dampak negatif eksternal, serta mendorong dampak positif eksternal dalam proses pembangunan.
Keberhasilan pembangunan pertanian berkelanjutan ditentukan oleh pelaksanaan revitalisasi pertanian. Krisnamurthi (2006) mengemukakan, revitalisasi pertanian memiliki tiga pengertian yaitu sebagai :
1.        kesadaran pentingnya pertanian bagi kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia,
2.        bentuk rumusan harapan masa depan tentang kondisi pertanian, dan
3.        kebijakan dan strategi besar melakukan revitalisasi pertanian itu sendiri.
Revitalisasi dalam makalah ini dibatasi pada kelembagaan pertanian, yaitu kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting kelembagaan secara proporsional dan konstektual.  Bukti empiris menunjukkan, penurunan kinerja kelembagaan penyuluhan pertanian dan kelompok tani pada awal otonomi daerah menjadi salahsatu faktor kunci tidak stabilnya produksi pertanian, khususnya padi dan beberapa komoditas palawija.
Kelembagaan kemitraan usaha agribisnis yang dapat mengeliminir berbagai kegagalan tersebut adalah kelembagaan usaha agribisnis terpadu, berupa keterpaduan antar pelaku agribisnis (petani, pedagang, pengolah) dan produk (bahan baku berkualitas, penanganan pasca panen yang prima serta jaminan ketahanan pangan). (Lampiran : 5, 6, dan 7).
            Alternatif model pembangunan pertanian berkelanjutan adalah melalui kemitraan usaha. Alternatif model ini tetap mepertimbangkan berbagai bentuk kelembagaan sebagai penopang kehidupan masyarakat, yaitu kelembagaan yang hidup dan telah diterima  oleh komunitas lokal atau tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar atau ekonomi (privat sector), dan kelembagaan politik/pemerintah atau sistem pengambilan keputuan di tingkat publik.  Pengembangan model pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha di pedesaan dengan melakukan revitalisasi kelembagaan kelompok tani dan penyluhan disajikan dalam Gambar 3.
IV.         KESIMPULAN

1.        Pohon industri setiap komoditas pertanian sangat dibutuhkan dalam pola pengembangan usaha ekonomi wilayah. Dengan memahami pohon industri setiap komoditas suatu daerah, kita akan mengetahui seberapa jauh pemanfaatan produksi komoditas tersebut dalam pengembangan usaha ekonomi di wilayah tersebut.
2.        Dengan berprinsip pada konsep ” kontinyutas, kuantitas, kualitas, permintaaan dan persediaan” suatu produk, maka masalah pemasaran dapat diatasi dengan prinsip kemitraaan .
3.      Kelembagaan kemitraan usaha agribisnis dan agroindustri yang dapat mengeliminir berbagai kegagalan tersebut adalah kelembagaan usaha agribisnis terpadu, berupa keterpaduan antar pelaku agribisnis (petani, pedagang, pengolah) dan produk (bahan baku berkualitas, penanganan pasca panen yang prima serta jaminan ketahanan pangan) serta lembaga pemerintah (dinas instansi pemerintahan).
4.        Pergeseran pola pembangunan dari pola konvensional ke arah pembangunan berkelanjutan makin diterima masyarakat sebagai konsekuensi logis dari kesadaran masyarakat akan produk berkualitas, aman dikonsumsi dan ramah lingkungan.  Perubahan paradigma pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilaksanakan dalam jangka pendek dan parsial, namun merupakan upaya jangka panjang, terus menerus dan menyeluruh.
5.        Pembangunan pertanian berkelnjutan melalui kemitraan agribisnis mampu memberikan manfaat, antara lain meningkatkan :
a.  produksi pertanian secara moderat, stabil dan berkesinambungan,
b.  pendapatan dan kesejahteraan petani,
c.              pemerataan dan keadilan sosial
d.  efisiensi penggunaan sumber daya alam dan lingkunga,
e.  partisipasi dan pemberdayaan petani dan pelaku agribisnis,dan
f.  kualitas lingkungan untuk mendukung kegiatan pembangunan berkelanjutan, dan mengentaskan kemiskinan dan mengurangi pengangguran dipedesaan, serta menciptakan lapangan kerja dan berusaha.



DAFTAR PUSTAKA
Krisnamurthi, Bayu., 2006.  Revitalisasi Pertanian, Sebuah kontruksi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan.  Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Maksum, Mochammad dan Bambang Adi Nugroho, 2006.  Usahatani di Lahan Beririgasi : Sinkronisasi Ketahanan Pangan dan kesejahteraan petani. Makalah pada Pelatihan Untuk Pelatih (ToT). Yogyakarta.

Pasandaran, Effendi., 2007.  Irigasi Masa Depan.  Memperjuangkan Kesejahteraan Petani dan Ketahanan Pangan.  Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia. Jakarta.

Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM (PSPK-UGM), Pro-poor Intervention Strategies in Irrigated Agriculture in Indonesia. Laporan Akhir Penelitian PSPK-UGM bekerjasama dengan International Water Management Institute (IWMI), Colombo.

Saragih, Bungaran.,  2001. Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai penggerak Ekonomi Nasional, 2001. Dept Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.

Saptana dan Ashari, 2007.  Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui Kemitraan Usaha. Jurnal Litbang Pertanian, 26/04/07. Bogor.

Suherman, Asep., 2007. Pengembangan Usaha Ekonomi Pertanian Dearah Irigasi di Kabupaten Indramayu. Pelatihan Penguatan Kelembagaan P3A di Kabupaten Indramayu. Bapeda Kabupaten Indramayu.

 ……....................., 2003. Pola Pengembangan Usaha Ekonomi di Daerah Irigasi Melalui Pembangunan Usahatani Terpadu dan Pengembangan Kelembagaan Yang Berbasis Agribisnis. Kebijakan Setengah Hati Dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Kemandirian Petani.  Beberapa Kasus dalam Pembangunan dan Pengelolaan Irigasi. Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia bekerja sama dengan PSDAL – LP3ES.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar