USAHATANI DI LAHAN BERIRIGASI
DAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
Oleh:
Asep Suherman, Ir. MP.
I.
PENDAHULUAN
Gemah ripah, loh jinawi, tata raharjo menggambarkan kemakmuran
dan kesejahteraan negara-negara agraris. Kata-kata seperti itu nyaris tidak
pernah terdengar dalam dunia nyata Indonesia.
Kehidupan pedesaan dan pertanian menjadi semakin tidak merangsang bagi
anak-anak muda. Hal ini ditunjukkan
dengan tegas dari data-data lapangan bahwa sawah-sawah kita hanya layak bagi
orang tua mereka. Petani, baik pemilik lahan maupun buruh tani, semakin bau tanah, dengan anak-anak muda mereka
yang nyaris tidak pernah menyentuh lahan pertanian. Bahkan anak-anak muda pun semakin tabu
menyanyikan lagu populer Koes Plus yang menggambarkan agrarisnya Indonesia
sebagai tanah surga dan kolam susu.
Telaah empirik menunjukkan dengan
jelas bahwa usahatani di lahan beririgasi merupakan sub-sektor yang paling tidak
beruntung (na-as). Hal ini merupakan konsekuensi negara dalam menata sistem ketahanan
pangan nasional yang sangat bias beras.
Dalam pembenahan RPPK dewasa ini pun, masih terlalu banyak aib
usahatani, yang mengindikasikan salah kiblat, antara lain : mudahnya impor
beras, makin kacaunya distribusi pupuk, pengorbanan petani sebagi tumbal
inflasi, naiknya harga pupuk tanpa kenaikkan harga gabah, dan kebijakan
tata-niaga yang bias konsumen berlebihan. Usahatani di lahan beririgasi pada
khususnya, dan usahatani tanaman pangan pada umumnya, selama ini hanya
diposisikan sebagai tumbal pembangunan untuk : menghasilkan pangan murah,
bemper inflasi, memurahkan UMR, penanggulangan kelaparan, dan penampungan
pengangguran (Maksum, M. dan Bambang Adi Nugroho, 2006).
II.
PERMASALAHAN USAHATANI DI
LAHAN BERIRIGASI
Dalam kajian intensif yang
dilakukan PSPK-UGM (2004) bekerjasama dengan IWMI, beberapa permasalahan yang
melatar belakangi dinamika usahatani di lahan beririgasi, bisa dikelompokkan
dalam : (1) permasalahan teknis usahatani pada lahan beririgasi teknis; (2) permasalahan sosio-teknis; (3) permasalahan
sosial-kelembagaan; dan (4) kinerja struktural dan kebijakan (PSPK-UGM, 2004).
Permasalahan teknis. Secara teknis, usahatani beririgasi sekedar
ditentukan oleh kinerja kultur teknis dan neraca air setempat. Kesederhanaan relasi kultur teknis dan neraca
air ini menjadi problematik ketika neraca air yang dari waktu ke waktu semakin
diwarnai oleh kelangkaan air karena meningkatnya kebutuhan pada tingkat
masyarakat dan keterbatasan ketersediaan air.
Sudah barang tentu relasi yang semakin tidak kondusif bagi usahatani
lahan beririgasi ini menuntut perkembangan teknologi kultur teknis (agronomi)
tertentu yang mengarah kepada water
saving technology.
Ketergantungan usahatani terhadap
relasi tersebut masih harus diperhatikan pula sebagai subsistem primer on-farm
dari sistem agribisnis, kesederhanaan teknologi usahatani yang sudah sangat
paripurna dewasa ini sangat tergantung dari kinerja sistem agribisnis secara
keseluruhan yang berintikan sub sistem : (i) input produksi; (ii) usahatani
primer; (iii) penanganan pasca panen (pengolahan hasil); (iv) pemasaran; dan
(v) subsistem penunjang.
Pemasalahan
sosio-teknis. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesederhanaan
relasi kultur teknis dan irigasi pada tingkat lapangan sangat diwarnai oleh
relasi sosio-teknis terutama berkaitan dengan kesiapan teknis masyarakat petani
dalam beririgasi yang semakin dibatasi oleh kelangkaan air. Kinerja teknis keirigasian di lapangan dalam
hal ini akan sangat ditentukan oleh karakter sosiokultural setempat yang selama
ini diwarnai oleh pola-kelola irigasi yang dipandang sebagai public-good, pola irigasi boros dan
egoistis. Perhatian terhadap permasalahan ini menjadi lebih penting terutama
dikaitkan dengan pentingnya upaya peningkatan pengetahuan teknis keirigasian
pada tingkat masyarakat dalam model tata-kelola irigasi partisipatif. Dalam era perubahan paradigma pembangunan
dari model-model monolistik-sentralistik menjadi model pembangunan
desentralistik-partisipatif, sudah tentu pengembangan keirigasian yang harus
semakin partisipatif seyogyanya mengagendakan intervensi strategis dalam bidang
sosio-teknis.
Permasalahan
sosio-kelembagaan. Mengingat kinerja teknis dan kinerja
sosio-teknis akan melibatkan dan ditentukan tidak hanya oleh kinerja perorangan
tetapi oleh relasi orang perorang dengan masyarakat sekitarnya, maka kinerja
sosial kelembagaan kawasan menjadi penting sekali untuk dibenahi. Model-model tata-kelola sosial kelembagaan,
seperti P3A, kelompok tani, SLPHT, dsb; yang selama beberapa waktu dibangun
dengan pendekatan monolitik-sentralistik sudah waktunya dikemas ulang dalam
format otonomis-partisipatif sejalan dengan perubahan peradaban yang sedang
berjalan.
Pemberdayaan sosio-kelembagaan
ini sangat diperlukan tidak hanya terbatas pada tingkat tersier saja sebagaimana
beberapa kurun waktu terjadi. Semakin
langkanya sumberdaya air menuntut tata-kelola sosio-kelembagaan yang lebih
makro, melewati batas-batas tersier, sekunder dan bahkan batas-batas sistem
primer. Pengembangan partisipasi publik
dalam konservasi sistem sumberdaya air secara absolut memerlukan perberdayaan
sosial-kelembagaan yang paripurna.
Kinerja
struktural-kebijakan. Mutu kinerja struktural-kebijakan ini sungguh
sangat penting bagi keberadaan usahatani di lahan beririgasi karena negara
secara politis telah menempatkan beras sebagai komoditas paling strategis dan
pembagunan irigasi sebagai penopang utamanya.
Ini adalah pilihan politik bangsa yang telah dibakukan. Kendati pada tingkat legal kepentingan
irigasi bagi perberasan ini lebih banyak disamarkan dalam ketahanan pangan,
tafsir terbatas yang selama ini diadopsi oleh Pemerintah telah menempatkan
kesamaan bahwa ketahanan pangan adalah beras. Kepentingan ekonomi itulah yang
selama ini menempatkan industri perberasan nasional menjadi pusat polemik dalam
bidang pertanian. Dalam format ekonomi-politik yang ditetapkan itulah produksi
beras nasional menjadi maha penting, tetapi
bukan produsen berasnya. Ketersediaan beras mutlak perlu diupayakan, tetapi bukan kemakmuran kaum tani.
Ketahanan pangan nasional itu tujuan pembangunan pertanian, dan nyaris tanpa
kepedulian memadai terhadap kesejateraan petani. dengan demikian, mudah sekali
dijabarkan bahwa terapi-terapi struktural-kebijakan dalam usahatani padi lebih
bernuansa marjinalisasi daripada revitalisasi sektor pertanian.
III. PENGEMBANGAN
SISTEM AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI SEBAGAI SOLUSI USAHAHATANI DI LAHAN
BERIRIGASI
3.1.Penerapan Konsep Agribisnis dan Agroindustri
Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis menurut Bungaran
Saragih (2001), terdiri atas 5 (lima) sub-sistem agribisnis yaitu :
a. Sub-sistem Agribisnis Hulu (Up-stream agribusiness)
yakni
industri-industri yang menghasilkan barang-barang modal bagi pertanian (arti
luas) yang meliputi : industri
pembenihan/pembibitan tumbuhan dan hewan, industri agrokimia (pupuk, pestisida,
obat/vaksin ternak) dan industri agro-otomotif (mesin dan peralatan pertanian)
serta industri pendukungnya.
b. Sub-sistem Usahatani (On-farm agribusiness)
yakni
kegiatan yang menggunakan barang-barang modal dan sumber daya alam untuk
menghasilkan komoditas primer. Termasuk
dalam hal ini adalah usahatani pangan dan hortikultura, tanaman obat-obatan,
perkebunan, peternakan, perikanan, dan
kehutanan.
c. Sub-sistem Pengolahan (Down-stream agribusiness)
yakni industri yang
mengolah komoditas pertanian primer (agroindustri)
menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate
product) maupun produk akhir (finish
product). Termasuk didalamnya
industri makanan, industri minuman, industri barang-barang serat alam
(barang-barang karet, plywood, pulp, kertas, bahan-bahan bangunan terbuat dari
kayu, rayon, benang dari kapas/sutera, barang-barang kulit, tali dan karung
goni), industri biofarmaka, dan industri
agrowisata dan estetika.
d. Sub-sistem Pemasaran (Market system of agribusiness)
yakni
kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran komoditas pertanian, baik segar
maupun olahan di dalam dan di luar negeri.
Termasuk kegiatan distribusi untuk memperlancar arus komoditi dari
sentra produksi, promosi, informasi pasar, serta intelijen pasar (market intelligence).
e. Sub-sistem Jasa dan Penunjang
yakni kegiatan yang
menyediakan jasa bagi sub-sistem agribisnis hulu, usahatani primer dan agribisnis hilir. Termasuk ke dalam sub-sistem ini adalah
penelitian dan pengembangan, perkreditan dan asuransi, transportasi,
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, sistem informasi dan dukungan kebijakan
pemerintah (mikro ekonomi, tata ruang, dan makro ekonomi).
Kelima
Sub-Sistem tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sub-Sistem Agribisnis Hulu
|
|
Sub-Sistem Usahatani
|
|
Sub-Sistem Pengolahan
|
|
Sub- Sistem Pemasaran
|
|
|
- Industri pembenihan/
pembibitan tanaman/hewan
- Industri agrokimia
- Industri agrootomotif
|
![]() ![]() |
- Usahatani tan. pangan &hortikultura
- Usahatani
perkebunan
- Usahatani peternakan
- Usahatani perikanan
- Usahatani Kehutanan
|
![]() ![]() |
- Industri makanan
- Industri minuman
- Industri rokok
- Industri barang serat alam
- Industri biofarmaka
- Industri agrowisata dan estetika
|
![]() ![]() |
- Distribusi
- Promosi
- Informasi Pasar
- Intelijen Pasar
- Kebijaksanaan perdagangan
- Struktur pasar
|
|
|
![]() |
|
![]() |
|
![]() |
|
![]() |
|
|
![]() |
|
|
![]() |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sub-Sistem Jasa
dan Penunjang
|
|
|
||||
|
|
- Perkreditan dan asuransi
- Penelitian dan pengembangan
- Pendidikan dan Penyuluhan
- Transportasi dan pergudangan
- Kebijaksanaan pemerintah (mikro ekonomi, tata ruang,
makro ekonomi)
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 1.
Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis dan Agroindustri
|
|
||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pohon industri setiap komoditas
pertanian sangat dibutuhkan dalam pola pengembangan usaha ekonomi wilayah. Dengan
memahami pohon industri setiap komoditas suatu daerah, kita akan mengetahui
seberapa jauh pemanfaatan produksi komoditas tersebut dalam pengembangan usaha
ekonomi di wilayah tersebut. Dalam
makalah ini hanya akan di gambarkan pohon industri dari 3 komoditas pertanian
yang biasa dilakukan oleh petani, yaitu padi,
jagung, kedelai, Kambing, domba dan kelinci
(Lampiran : 1, 2, 3, dan 4).
Masalah pemasaran sebenarnya
tidak terlalu sulit. Dengan berprinsip
pada konsep ” kontinyutas, kuantitas dan kualitas” suatu produk, maka masalah pemasaran
dapat diatasi dengan prinsip kemitraaan . Otonomi daerah
memberikan kesempatan yang luas kepada daerah, khususnya Kabupaten atau Kota
dalam melaksanakan program-program pembangunan. Banyak aspek yang dapat
dilakukan secara mandiri di tingkat daerah baik dalam perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan serta pertanggung-jawaban daerah dalam mempersiapkan dan
melaksanakan berbagai kebijakan yang kini bergeser menjadi tanggung jawab
daerah. Kesiapan sumberdaya manusia di
pemerintah daerah saja tidak cukup tanpa didukung oleh komponen lain, misalnya
kesiapan masyarakat di daerah dan kondisi sumberdaya alam.
Daerah dalam konsep otonomi
daerah mempunyai keunikan atau karakteristik tersendiri. Karakteristik tersebut
antara lain masing masing wilayah administratif mempunyai potensi sumberdaya
alam, etnis, budaya atau tradisi, sumberdaya manusia yang sangat beragam dan
khas. Dalam konsep otonomi daerah
diharapkan berbagai potensi yang ada di daerah dapat dimanfaatkan secara
optimal dalam mendukung pelaksanaan pembangunan. Kenyataan ini menuntut para
perancang dan pengambil kebijakan dalam sistem otonomi daerah, bertindak secara
arif dan dewasa agar dapat mengakomodasi berbagai keluhan dan harapan
masyarakat pertanian, bagaimana menyusun langkah-langkah pembangunan dan pengembangan
pertanian ke depan. Masyarakat pertanian yang secara aktif telah terlibat sejak
awal dalam menentukan kebijakan pembangunan pertanian, diharapkan dapat
terbangun rasa tanggung jawabnya dan rasa memiliki bagi masa depan sektor
pertanian.
Berbagai kenyataan di atas
membutuhkan penyelesaian secara spesifik dan tuntas. Dalam konteks lain
pembangunan pertanian di era otonomi daerah menuntut pendekatan secara
holistik. Berbagai kajian dalam perencanaan, penyusunan dan penyiapan kebijakan
pembangunan pertanian menjadi tanggung jawab bersama antar berbagai elemen
masyarakat, pemerintah dan perguruan tinggi. Oleh sebab itu setiap kegiatan
harus dilakukan secara partisipatif, mulai dari perencanaan sampai dengan
implementasinya.
Pemberdayaan petani memerlukan
langkah yang jelas, perencanaan yang mantap, serta operasional di tingkat
petani. Perencanaan harus dipimpin oleh
pemerintah setempat, dan sebaiknya di tingkat desa atau tingkat daerah aliran
sungai (DAS) yang berdasarkan alur hidrologis.
Pemerintah yang melayani rakyat, mempersiapkan dan melindungi
rakyatnya. Namun harus diingat,
perencanaan disini tidak asal perencanaan, melainkan bagian dari proses
manajemen usaha. Masyarakat petani
membangun suatu unit usaha harus seperti konsep perusahaan. Perusahaan memproduksi suatu produk jika ada
pangsa pasarnya. Perusahaan bisa eksis
manakala perusahaan itu mampu menjual produknya dengan nilai jual yang layak.
Prinsip-prinsip kebijakan yang diperlukan, pada dasarnya
adalah:
1. Keberpihakan
kepada petani,
2. Kebebasan
berusahatani,
3. Pertanian
yang berkelanjutan,
4. Otonomi
Daerah,
5. Berorientasi
pasar global,
6. Pendekatan
agribisnis dan agroindustri, serta
7. Mempunyai
ketahanan pangan yang kuat,
Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut maka strategi dan kebijakan pembangunan pertanian yang
diperlukan antara lain :
1. Kebijakan
harga produksi dan input,
2. Pertumbuhan sentra produksi dan perwilayahan komoditas,
3. Pengembangan
usaha,
4. Pengurangan
resiko usahatani,
5. Pengembangan
pasar dalam negeri (Ekonomi antar wilayah/pulau),
6. Efisiensi
pelayanan,
7. Peningkatan
infra struktur di pedesaan,
8. Modernisasi
industri pertanian dan pedesaan,
9. Peningkatan
sumberdaya manusia,
10. Pengembangan
inovasi dan teknologi untuk petani/usaha kecil,
11. Pemberdayaan
(Empowerment) petani,
12. Transformasi
masyarakat yang berkualitas secara partisipatif,
13. Penataan
/ konsolidasi lahan pertanian,
14. Keberlanjutan
sumberdaya alam pertanian, dan
15. Jaringan
informasi pertanian (pemasaran), baik lokal, regional, nasional maupun
internasional.
Ketika nilai tukar produk bisa lebih terjamin, maka kegairahan
untuk tetap berproduksi akan bisa terus dijaga.
Dalam situasi dimana pengangguran begitu tinggi, seperti yang kita alami
sekarang ini, maka hal itu akan turut membantu terbukanya lapangan kerja,
karena terbukanya lapangan usaha.
Permasalahannya adalah bagaimana mengimplementasikan
prinsip-prinsip, kebijakan-kebijakan dan lembaga-lembaga yang telah ada di
masyarakat itu dalam suatu program yang terpadu agar efektif dan efisien yang
kemanfaatannya dapat dirasakan oleh kita semua terutama petani sebagai ujung
tombak pembangunan. Bagaimanapun juga,
bangsa ini tidak akan bangkit dari keterpurukan ini, manakala petaninya yang
mayoritas penduduk dari negara ini tidak dihargai keberadaannya, jerih
payahnya, dan tidak ditempatkan pada porsi dan posisi yang benar.
3.2.
Pola
Kemitraan Usaha Pada Pembangunan Pertanian Terpadu, Berkelanjutan dan
Berwawasan Lingkungan Melalui Pendekatan Sistem Agribisnis dan Agroindustri
Secara tertulis Negara Indonesia telah
menganut konsep pembanguna pertanian berkelanjutan. Hal ini termuat dalam amandemen UUD 1945,
pasal 33 bahwa : ”perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dan
usaha agribinis, agroindustri serta kemitraan usaha. Sektor agribisnis yang
berkembang saat ini dapat dikatakan sebagai tipe dispersal atau tersekat-sekat,
kurang memiliki daya saing, dan tidak berkelanjutan. Menurut Simatupang (1995) dalam Saptana dan Ashari (2007), hal itu
disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu :
1) Tidak ada keterkaitan fungsional yang harmonis
diantara kegiatan atau pelaku agribisnis, sehingga dinamika pasar belum dapat
direspon secara efektif karena tidak adanya koordinasi;
2)Terbentuknya margin ganda sehingga ongkos produksi,
pengolahan, dan pemasaran hasil yang harus dibayar konsumen menjadi lebih mahal,
atau secara agribisnis menjadi tidak efisien, dan
3) Tidak adanya
kesetaraan posisi tawar antara petani dan pelaku agribisnis lainnya sehingga
petani sulit mendapatkan harga pasar yang wajar.
Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui pendekatan
sistem agribisnis, agroindustri dan kemitraan usaha memberikan beberapa manfaat
sekaligus, yaitu :
a). Mengoptimalkan
alokasi sumberdaya pada satu titik waktu dan lintas generasi,
b). Meningkatkan
efisiensi dan produktivitas produk-produk pertanian karena adanya keterpaduan
produk berdasarkan tarikan permintaan (demand driven),
c). Meningkatkan
efisiensi masing-masing subsistem agribisnis dan harmonisasi keterkaitan antar
subsistem melalui keterpaduan antar pelaku,
d). Terbangunnya
kemitraan usaha agribisnis yang saling membutuhkan, memper-kuat, dan
menguntungkan,
e). Adanya
kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan kontunuitas pendapatan seluruh
pelaku agribisnis.
Pendekatan tersebut di atas
hanya akan berhasil bila dilakukan secara partisipatif. Pembangunan pertanian
secara partisipatif akan menjamin keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan
itu sendiri. Pembangunan partispatif dalam konteks pembangunan pertanian
berkelanjutan dengan pendekatan sistem agribisnis dan kemitraan usaha adalah
proses yang melibatkan keseluruhan pelaku agribisnis dari hulu hingga hilir
dalam pengambilan keputusan substansial yang berkaitan dengan eksistensi dan
keberlanjutan usaha.
Pembangunan pertanian berkelanjutan memiliki tiga tujuan (Sanim, 2006) dalam Saptana dan Ashari (2007), yaitu : tujuan
ekonomi (efisiensi dan pertumbuhan), tujuan
sosial ( kepemilikan/keadilan), dan tujuan
ekologi (kelestarian dan lingkungan).
Ketiga tujuan tersebut saling terkait seperti disajikan pada Gambar 2. Pembangunan pertanian berkelanjutan dapat
terwujud bila ketiga tujuan pembangunan tersebut tercapai.
|

![]() |
Gambar 2. Hubungan antara tiga tujuan pembangunan
berkelanjutan.
Efisiensi dan pertumbuhan
sektor pertanian dapat dipacu melalui
pertumbuhan produksi dan pendapatan petani, pembentukan modal dan peningkatan
daya saing. Pemerataan kepemilikan
sumberdaya dapat ditempuh melalui kebijakan reformasi agraria (landreform) serta
meningkatkan akses dan
kontrol masyarakat ke sumberdaya pertanian, modal,
teknologi, kesejahteraan sosial, dan ketenteraman. Kelestarian sumberdaya pertanian dan
lingkungan dapat diwujudkan dengan mengembangkan sistem usahatani ramah
lingkungan, memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan, mengurangi dampak
negatif eksternal, serta mendorong dampak positif eksternal dalam proses
pembangunan.
Keberhasilan pembangunan
pertanian berkelanjutan ditentukan oleh pelaksanaan revitalisasi pertanian.
Krisnamurthi (2006) mengemukakan, revitalisasi pertanian memiliki tiga
pengertian yaitu sebagai :
1.
kesadaran pentingnya pertanian bagi kehidupan bangsa dan
rakyat Indonesia,
2.
bentuk rumusan harapan masa depan tentang kondisi
pertanian, dan
3.
kebijakan dan strategi besar melakukan revitalisasi pertanian
itu sendiri.
Revitalisasi dalam makalah ini
dibatasi pada kelembagaan pertanian, yaitu kesadaran untuk menempatkan kembali
arti penting kelembagaan secara proporsional dan konstektual. Bukti empiris menunjukkan, penurunan kinerja
kelembagaan penyuluhan pertanian dan kelompok tani pada awal otonomi daerah
menjadi salahsatu faktor kunci tidak stabilnya produksi pertanian, khususnya
padi dan beberapa komoditas palawija.
Kelembagaan
kemitraan usaha agribisnis yang dapat mengeliminir berbagai kegagalan tersebut
adalah kelembagaan usaha agribisnis terpadu, berupa keterpaduan antar pelaku
agribisnis (petani, pedagang, pengolah) dan produk (bahan baku berkualitas,
penanganan pasca panen yang prima serta jaminan ketahanan pangan). (Lampiran :
5, 6, dan 7).
Alternatif model pembangunan
pertanian berkelanjutan adalah melalui kemitraan usaha. Alternatif model ini
tetap mepertimbangkan berbagai bentuk kelembagaan sebagai penopang kehidupan
masyarakat, yaitu kelembagaan yang hidup dan telah diterima oleh komunitas lokal atau tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar
atau ekonomi (privat sector), dan kelembagaan politik/pemerintah atau sistem
pengambilan keputuan di tingkat publik.
Pengembangan model pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan
usaha di pedesaan dengan melakukan revitalisasi kelembagaan kelompok tani dan
penyluhan disajikan dalam Gambar 3.
IV.
KESIMPULAN
1.
Pohon industri setiap komoditas pertanian sangat
dibutuhkan dalam pola pengembangan usaha ekonomi wilayah. Dengan memahami pohon
industri setiap komoditas suatu daerah, kita akan mengetahui seberapa jauh
pemanfaatan produksi komoditas tersebut dalam pengembangan usaha ekonomi di
wilayah tersebut.
2.
Dengan berprinsip pada konsep ” kontinyutas, kuantitas,
kualitas, permintaaan dan persediaan” suatu produk, maka masalah
pemasaran dapat diatasi dengan prinsip kemitraaan .
3.
Kelembagaan kemitraan usaha agribisnis dan agroindustri
yang dapat mengeliminir berbagai kegagalan tersebut adalah kelembagaan usaha
agribisnis terpadu, berupa keterpaduan antar pelaku agribisnis (petani,
pedagang, pengolah) dan produk (bahan baku berkualitas, penanganan pasca panen
yang prima serta jaminan ketahanan pangan) serta lembaga pemerintah (dinas
instansi pemerintahan).
4.
Pergeseran pola pembangunan dari pola konvensional ke
arah pembangunan berkelanjutan makin diterima masyarakat sebagai konsekuensi
logis dari kesadaran masyarakat akan produk berkualitas, aman dikonsumsi dan
ramah lingkungan. Perubahan paradigma
pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilaksanakan dalam jangka pendek dan
parsial, namun merupakan upaya jangka panjang, terus menerus dan menyeluruh.
5.
Pembangunan pertanian berkelnjutan melalui kemitraan
agribisnis mampu memberikan manfaat, antara lain meningkatkan :
a. produksi pertanian secara moderat, stabil dan
berkesinambungan,
b. pendapatan dan kesejahteraan petani,
c. pemerataan
dan keadilan sosial
d. efisiensi penggunaan sumber daya alam dan
lingkunga,
e. partisipasi dan pemberdayaan petani dan pelaku
agribisnis,dan
f. kualitas lingkungan untuk mendukung kegiatan
pembangunan berkelanjutan, dan mengentaskan kemiskinan dan mengurangi
pengangguran dipedesaan, serta menciptakan lapangan kerja dan berusaha.
DAFTAR
PUSTAKA
Krisnamurthi,
Bayu., 2006. Revitalisasi Pertanian, Sebuah
kontruksi Sejarah dan Tuntutan Masa Depan. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban.
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Maksum,
Mochammad dan Bambang Adi Nugroho, 2006.
Usahatani di Lahan Beririgasi
: Sinkronisasi Ketahanan Pangan dan kesejahteraan petani. Makalah pada Pelatihan
Untuk Pelatih (ToT). Yogyakarta.
Pasandaran, Effendi., 2007. Irigasi Masa Depan. Memperjuangkan Kesejahteraan Petani dan Ketahanan
Pangan. Jaringan Komunikasi Irigasi
Indonesia. Jakarta.
Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM (PSPK-UGM), Pro-poor
Intervention Strategies in Irrigated Agriculture in Indonesia. Laporan Akhir
Penelitian PSPK-UGM bekerjasama dengan International Water Management Institute
(IWMI), Colombo.
Saragih,
Bungaran., 2001. Pembangunan Sistem Agribisnis
Sebagai penggerak Ekonomi Nasional, 2001. Dept Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.
Saptana dan Ashari, 2007.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui Kemitraan Usaha.
Jurnal Litbang Pertanian, 26/04/07. Bogor.
Suherman,
Asep., 2007. Pengembangan Usaha Ekonomi Pertanian Dearah Irigasi di Kabupaten
Indramayu. Pelatihan Penguatan Kelembagaan P3A di Kabupaten Indramayu.
Bapeda Kabupaten Indramayu.
……....................., 2003. Pola
Pengembangan Usaha Ekonomi di Daerah Irigasi Melalui Pembangunan Usahatani
Terpadu dan Pengembangan Kelembagaan Yang Berbasis Agribisnis.
Kebijakan Setengah Hati Dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Kemandirian
Petani. Beberapa Kasus dalam Pembangunan
dan Pengelolaan Irigasi. Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia bekerja sama
dengan PSDAL – LP3ES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar